KELAS : 4ea03
NPM : 16210529
2 Contoh Kasus Praktik Bisnis yang Tidak Ber-etika
KASUS 1
SEBANYAK 56 BIRO
IKLAN MELAKUKAN PELANGGARAN ETIKA.
Laporan : H.Erry Budianto.
Bandung-Surabayawebs.com
Badan Pengawas Periklanan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) sedikitnya telah menegur 56 perusahaan iklan atas pelanggaran etika selama dua tahun terakhir ini.
Pelanggaran ini berupa penampilan iklan yang superlative, yaitu memunculkan produk sebagai yang terbaik atau termurah. Iklan superlative ini acapkali dibumbui kecenderungan menjatuhkan pesaing di pasaran. “Jika semua bilang baik, termurah, ini akan membingungkan masyarakat dan pelanggan,” ujar Ketua Badan Pengawas PPPI, FX Ridwan Handoyo kepada wartawan, belum lama ini.
Dia mencontohkan iklan pada industri telekomunikasi. Setiap operator telekomunikasi mengaku menawarkan tariff termurah. Bahkan ada iklan yang menyebutkan bahwa produk paling murah meriah. Juga ada iklan produk kesehatan atau kosmetik yang menyebutkan paling efektif. “Tapi semua iklan superlative itu tidak didukung oleh bukti yang kuat. Jadi bisa merugikan masyarakat dan pelanggannya,” tuturnya kemudian.
Surat teguran dilayangkan setelah Badan Pengawas PPPI menemukan dugaan pelanggaran berdasarkan pengaduan masyarakat atau hasil pantauan, Kepada perusahaan periklanan anggota PPPI, Badan pengawas PPPI melakukan peneguran sekaligus meminta keterangan. Sedangkan kepada perusahaan non anggota, surat teguran berupa imbauan agar menjunjung tinggi etika beriklan.
Ridwan menyebutkan dari 149 kasus yang ditangani Badan Pengawas PPPI, tahun 2006 sebanyak 56n kasus dan 93 kasus di tahun 2007. Sebanyak 90 kasus telah dinyatakan melakukan pelanggaran dan 44 kasus lainnya masih dalam penanganan. Dari yang diputus melanggan etika, 39 kasus tak mendapatb respon oleh agensi. Untuk itu BP PPPI menruskannya ke Badan Musyawarah Etika PPPI.
Jumlah perusahaan periklanan yang melakukan pelanggaran cukup banyak itu ada kemungkinan terjadi akibat tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar. Diakuinya, selama ini rambu-rambu periklanan hanya diatur dalam bentuk Etika Periklanan Indonesia. “Mungkin karena belum ada aturan hukum yang jelas, pelanggaran tetap banyak,’ katanya.
Laporan : H.Erry Budianto.
Bandung-Surabayawebs.com
Badan Pengawas Periklanan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) sedikitnya telah menegur 56 perusahaan iklan atas pelanggaran etika selama dua tahun terakhir ini.
Pelanggaran ini berupa penampilan iklan yang superlative, yaitu memunculkan produk sebagai yang terbaik atau termurah. Iklan superlative ini acapkali dibumbui kecenderungan menjatuhkan pesaing di pasaran. “Jika semua bilang baik, termurah, ini akan membingungkan masyarakat dan pelanggan,” ujar Ketua Badan Pengawas PPPI, FX Ridwan Handoyo kepada wartawan, belum lama ini.
Dia mencontohkan iklan pada industri telekomunikasi. Setiap operator telekomunikasi mengaku menawarkan tariff termurah. Bahkan ada iklan yang menyebutkan bahwa produk paling murah meriah. Juga ada iklan produk kesehatan atau kosmetik yang menyebutkan paling efektif. “Tapi semua iklan superlative itu tidak didukung oleh bukti yang kuat. Jadi bisa merugikan masyarakat dan pelanggannya,” tuturnya kemudian.
Surat teguran dilayangkan setelah Badan Pengawas PPPI menemukan dugaan pelanggaran berdasarkan pengaduan masyarakat atau hasil pantauan, Kepada perusahaan periklanan anggota PPPI, Badan pengawas PPPI melakukan peneguran sekaligus meminta keterangan. Sedangkan kepada perusahaan non anggota, surat teguran berupa imbauan agar menjunjung tinggi etika beriklan.
Ridwan menyebutkan dari 149 kasus yang ditangani Badan Pengawas PPPI, tahun 2006 sebanyak 56n kasus dan 93 kasus di tahun 2007. Sebanyak 90 kasus telah dinyatakan melakukan pelanggaran dan 44 kasus lainnya masih dalam penanganan. Dari yang diputus melanggan etika, 39 kasus tak mendapatb respon oleh agensi. Untuk itu BP PPPI menruskannya ke Badan Musyawarah Etika PPPI.
Jumlah perusahaan periklanan yang melakukan pelanggaran cukup banyak itu ada kemungkinan terjadi akibat tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar. Diakuinya, selama ini rambu-rambu periklanan hanya diatur dalam bentuk Etika Periklanan Indonesia. “Mungkin karena belum ada aturan hukum yang jelas, pelanggaran tetap banyak,’ katanya.
Analisis:
Tentu bisnis yang
dilakukan perusahaan iklan diatas sangat tidak beretika karena mereka mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya dari biaya pemasangan iklan yang dibayar oleh
beberapa konsumennya tanpa memperdulikan dampak yang ada. Jika iklan yang
dipasang oleh perusahaan iklan tersebut tidak benar tentu saja ini merugikan
orang-orang yang membeli suatu produk karna terpengaruh oleh iklan yang
dipasang oleh perusahaan iklan tersebut.
KASUS 2
Sebagai contoh Bank XXX yang cukup
dikenal dan memiliki nasabah banyak, pada November 2009 mengalami keadaan yang
tidak bisa membayar dana permintaan dari nasabah, atau dalam dunia perbankan
disebut dengan kalah kliring. Keadaaan ini membuat kepanikan dalam penarikan
pada Bank tersebut. Selanjutnya setelah Komite Stabilitas Sektor Keuangan turun
tangan dan menyelediki maslaah tersebut, akhirnya di tetapkan bahwa Bank XXX
sebagaibank gagal. Akhirnya Bank XXX di tangani oleh LPS (Lembaga
Penjamin Simpanan). Untuk membenahi masalah yang ada, LPS menyuntikkan dana
sebesar Rp 2,2 triliun. Namun ternyata ada masalah lain yang timbul, yaitu
tuntutan ribuan investor atas penggelapan dana investasi senilai Rp1,38 triliun
yang mengalir ke RT (mantan pemilik Bank XXX).
Menurut
data kepolisian, RT membawa aset-aset Bank XXX sebesar US$ 19,25 juta atau Rp
192,5 miliar ke luar negeri. Mantan pemilik Bank XXX, RT mengaku dirinya tak
memiliki banyak uang hingga Rp 12 triliun sebagaimana diberitakan. Menurutnya,
jika dirinya memiliki uang sebanyak itu, maka dirinya pasti sudah berada di
Singapura sesaat setelah Bank XXX diambil alih Lembaga Penjamin Simpanan.
Mantan pemilik Bank XXX yang diduga melakukan penggelapan dana nasabah divonis
hakim penjara 4 tahun dengan denda Rp 50 miliar.
Ketua KPK Abraham Samad dicecar
Timwas Bank XXX terkait berlarut-larutnya penyelesaian kasus bailout Bank XXX.
Menurutnya, kekurangan penyidik menjadi kendala utama. “Kalau kita punya
penyidik yang banyak, mungkin pertemuan kita kali ini akan mengatakan
penyelidikan XXX naik ke penyidikan,” kata Abraham di depan pertemuan dengan
Timwas XXX.
Dia mengatakan, akibat kekurangan
penyidik tersebut, banyak kasus di KPK yang terbengkalai. Terlebih, saat ini 20
penyidik KPK ditarik oleh Polri. “Satu orang penyidik itu bisa memegang 5-6
kasus. Meski demikian, KPK akan terus bekerja keras untuk menyelesaikan semua
kasus yang ada di KPK, termasuk kasus Bank XXX. Khusus XXX, pertemuan
berikutnya kita sudah akan berada dalam tahapan yang berbeda,” tambah Samad
yakin
Analisis:
Menurut saya, kasus
yang terjadi pada Bank XXX diatas cukup memprihatinkan karena pada dasarnya
bank didirikan untuk menyimpan dan menghimpun dana dari masyarakat, tetapi jika
terjadi kasus seperti akan sulit bagi masyarakat untuk mempercayai suatu bank.
http://lachataa.wordpress.com/2012/10/14/tugas-contoh-kasus-yang-tidak-beretika-bisnis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar